Trend pesantren yang kemudian semarak dengan sebutan boarding school, beberapa tahun terakhir ini, menjadi menarik untuk diamati. Salah satu alasan populer orang tua masa kini menitipkan anak-anak mereka masuk pesantren atau boading school adalah agar anak terhindar dari pergaulan bebas, terhindar dari perilaku bergadget yang tidak terkontrol. Untuk menjauhkan anak dari kedua ancaman tersebut, maka boarding adalah pilihan utama.
Lantas kita juga pasti bertaya lebih lanjut, mengapa orang tua lebih memilih boarding sebagai benteng, bukan keluarga dan pengasuhan berkualitas ayah ibu yang dikuatkan, sehingga menjadi benteng yang jauh lebih kokoh dari benteng-benteng “rapuh” beberapa pesantren dan boarding yang cenderung tidak siap juga menampung ragam ekspektasi para orang tua tentang anaknya.
Banyak pertimbangan mengapa akhirnya orang tua cenderung memilih boardig sebagai benteng, paling tidak ada tiga alasan umum :
- Orang tua tidak memiliki skill parenting yang mendukung perkembangan anak-anak menjadi lebih baik, dan berakhir pesantren menjadi benteng
- Pesantren memiliki tenaga ahli untuk mengembangkan beberapa kompetensi anak, semisal kompetensi syar’i, kepemimpinan, dll
- Lingkungan keluarga tidak kondusif (beberapa orang menyebutnya “buruk”), sehingga kondisi ini tidak mendukung perkembangan anak menjadi lebih baik, dan berakhir pesantren menjadi benteng.
Apapun alasan orang tua mengakhirkan harapan pada boardingatausanten, itulah dinamika orang tua masa kini, dan memang kita harus berani jujur dan terbuka mengakui, bahwa pendidian berpola pesantren masih menjadi solusi pendidikan terbaik untuk moral anak-anak bangsa ini. Apapun dinamika orang tua masa kini, secara obyektif, kita harus berani mengakui, bahwa peantren masih mendapat tempat yang istimewa di hati rakyat Indonesia. Sejarah cemerlang pesantren yang berhasil menitipkan santri-santri terbaik mereka untuk bangsa ini, masih tetap dijunjung tinggi, dan tetap bersemayam kuat di tanah NKRI ini.
Namun, usai kita jujur mengakui posisi pesantren sebagai lembaga pendidikan legendaris negeri ini, kita juga memerlukan kesadaran baru hari ini, bahwa pesantren butuh refleksi kembali. Salah satu tema refleksnya adalah dalam isu PARENTING atau PENGASUHAN.
Indonesia saat ini banyak berbicara tentang ketahanan keluarga, banyak berbicara tentang pengaruh teman, gander, banyak berbicara tentang perlindungan anak dan hak-hak anak. Salah satu ujung dari pembicaraan tema-tema tersebut adalah PARENTING. Parenting adalah bagian kecil dari tema-tea di atas, namun ia sangat sensistif, ia sangat fundamental dan mendasar, ia sangat signifikan memegang peranan strategis, dalam membentuk format wajah anak bansa negri ini. Dalam pengasuhan yang baik, ada anak-anak hebat dan berakhlak baik di dalamnya. Kita bisa bayangkan, jika terdapat banyak anak hebat yang berakhlak mewanai negri ini. Kemuliaan dan keberlimpahan berkah akan segera ita saksikan menjadi kenyataan yang menguat di tengah-tengah kita.
Meski demikian adanya, fungsi parenting saat ini sedang menjadi kajian tersendiri oleh beberapa pemerhati. Sebut saja dua NGO Indonesia yang bergerak dalam ketahanan keluarga dan parenting, GIGA Indonesia dan KREN Lombok yang menganalisa bagaimana kondisi parenting di boarding.
Beberapa pesantren mengeluarkan kebijakan, antara lain :
- Tidak diperkenankan menjenguk anak dalam 30 atau 40 hari pertama
- Anak tidak diperkenankan pulang ke rumah bertemu orang tua kecuali setelah 30-90 hari
- Anak tidak diperkenankan menginap di rumah dan tidur bersama orang tua saat mereka boleh berkunjung ke rumah
- Orang tua tidak diperkenankan masuk kawasan shelter anak
- dll kebijakan serupa
Kebijakan-kebijakan seperti di atas seringkali menjadi sorotan pemerhati keluarga dan parenting. Bergerak dari konvensi anak yang menuangkan beberapa hak dasar anak, salah satunya adalah hak pengasuhan priodik, bahwa anak yang tinggal di pesantren misalnya, juga memiliki hak pengasuhan secara priodik, dari orang tua kandung mereka. Sedangkan membatasi waktu kunjungan dan waktu berinteraksi anatara anak dengan orang tua secara berlebihan, bisa jadi diterjemahkan beberapa orang sebagai tindakan penghalangan pengasuhan orang tua untuk anak. Hal ini menarik menajdi kajian lanjutan.
Fungsi pengasuhan dalam Al-Qur’an, yang tercermin dalam dialog orang tua bersama anak, tercatat 14 kali bersama ayah, 2 kali bersama ibu, dan hanya 1 kali bersama guru. Dan guru adalah saah satu profesi yang ada di pesantren. Jika kemudian pengasuhan diambil alih dalam porsi waktu yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pengasuhan ayah dan ibu, bukankah ini merupakan wujud tidak terimplementasinya nilai-nilai alqur’an dalam penagsuhan pesantren?
Seringkali disebutkan dalam Al-Qur’an, bahwa dalam pengasuhan tersebut peran ayah dan ibu dalam membentuk sikap dan mentalitas anak. “faabwaihi yahwwidanihi aw yunajjisanih, dst”. Peran ayah dan ibu yang membangun mentalitas dan spritualitas anak. Dalam penjelasan lain Rasulullah juga menyebut “Ibu madrasah pertama”, dan Laki-laki (suami) adalah pemimpin bagi perempuan (istri).
Ayat ayat tersebut menguatkan pendapat kita, bahwa pengasuhan utama tetap berada dalam pundak kedua orang tua anak, yaitu ayah dan ibunya. Bukan sepenuhnya diambil alih oleh pesantren atau sebagian besar didomiansi pesantren serta mengabaikan peran pengasuhan ayah dan ibu secara langsung.
Pendidikan dalam pesantren tentu berbeda dengan pengasuhan orang tua di rumah. Pesantren sebagai lembaga organsiasi yang memiliki visi misi dan tujuan yang khas, bisa jadi berbeda orientasi dengan tujuan pengasuhan orang tua di rumah. Sehingga kondisi ini menciptakan gap antara tujuan pengasuhan orang tau dengan tujuan pendidikan yang hendak dibangun dari boarding. Dan ini tentu menyulitkan pencapain tujuan bersama yang hendak dibangun untuk anak.
Pesantren bisa mulai mengkaji lebih dalam, bagaimana dampak pengasuhan bagi perkembangan anak-anak negeri ini. Seringkali permasalahan yang ada bermula dari pengasuhan buruk orang tua. Ketika pesantren mengambil peran pengganti pengasuhan buruk itu, tidak selalu mampu pesantren menjawabnya. sehingga malah justru anak-anak yang dilemparkan dari pengasuhan buruk kepada lingkungan pesantren, justru memperkuat keburukan anak itu sendiri. Anak tambah melakukan perlawanan, penolakan dan dendam, karena merasa dipaksa masuk ke dunia pesantren dengan segala tuntutan dan idealitasnya. Dalam kondisi seperti ini, sesungguhnya tidak hanya anak yang menjadi korban tiadanya keterampilan orang tua dalam pengasuhan anak yang sulit, tapi juga pesantren, telah menjadi korban ketidakpahaman orang tua dalam mengasuh anak yang sulit.
Untuk memastikan berjalannya fungsi keluarga secara utuh, maka parenting menjadi salah satu jembatannya. Saat ini parenting memang tampak lebih mudah dilakukan oleh orang tua di rumah, karena sekolah seringkali tidak mudah untuk menunjukkan peran-peran pengasuhannya, dikarenakan fungsi dan sifat sekolah sebagai lembaga pendidikan yang menjalankan fungsi tarbiyah di dalamnya. Apalagi sekolah yang selama ini yang memiliki orientasi pada ranah kognitif, agak kesulitan untuk membangun pola pengasuhan yang berpihak pada tumbuh kembang anak secara komprehensif.
Sekolah biasanya terjebak dalam ranah kognitif, sesuai dengan tuntutan evaluasi yang masih sangat kental nuansa kognitifnya, seringkali semua berujung pada berapa point nilai Matematikamu, berapa point nilai Bahasa Indonesiamu, dst. Demikian juga dengan pesantren, tidak jauh berbeda dengan target capaian sekolah pada umumnya. Pembeda pada umumnya terletak dari program tambahan pesantren, seperti capaian Al-Quran, Bahasa Arab, Kajian kitab kuning, dan lain-lain sesuai kebijakan pesantren.
Lantas kapan parenting bisa masuk secara khusus. Apakah anak-anak yang masuk dalam pesantren harus kehilangan fungsi orang tua dan kehilangan fungsi pengasuhan. Jawabannya kembali bergantung pada kebijakan pesantren. Jika pesantren menjalankan kebijakan yang sama seperti tertulis di paragraf awal tulisan ini, yang membatasi interaksi anak dengan orang tua terlalu tinggi, maka bisa jadi pesantren telah kehilangan fungsi pengasuhan dalam waktu yang cukup lama. Anak mengalami “putus jembatan pengasuhan” dalam waktu yang relatif lama, 3 sampai 6 tahun.
Dalam beberapa kajian ketahanan keluarga, ada dua istilah yang bisa kita cerna dan kita olah, untuk selanjutnya bisa dijadikan bahan diskusi dalam pengasuhan pesantren masa kini. Dua istilah itu adalah FUNGSI dan STRUKTUR. Dalam proses pembentukan keluarga dan pegasuhan, fungsi lebih ditekankan dibandingan dengan struktur. Struktur boleh goyah, tapi fungsi harus selalu ada. Struktur keluarga berupa kehadiran ayah atau kehadiran ibu, dalam kondisi tertentu bisa alfa karena perceraian atau permasalahan pernikahan dan atau karena tidak terhubung dengan dunia kerja, namun jika fungsi berjalan, maka itu sudah cukup menjadi jawaban ketiadaan struktur dalam keluarga dan pengasuhan.
Demikian halnya dengan pesantren, anak yang tinggal dalam lingkungan boarding bisa jadi terancam struktur struktur akan terganggu, jika kehilangan peran ayah dan ibu, terlebih lagi jika para guru dan pembina asrama gagal menunjukkan fungsi sebagai pengasuh, maka anak mengalami dua gangguan, gangguan struktur dan gangguan fungsi. Gangguan struktur karena tidak hadir pengasuh bagi anak, dan gangguan fungsi sekaligus, karena ayah gagal menjalankan peran, ibu gagal menjalankan peran, guru gagal menjalankan peran pengasuhan, dan pembina gagal dalam menjalankan peran pengasuhan. ini saya sebut double musibah buat anak-anak yang tinggal di boarding tanpa parenting.
Jika ingin terhindar dari ancaman struktur dan fungsi, maka layak bagi orang tua dan pesantren duduk bareng, untuk memepertahankan fungsi keluarga dan fungsi pengasuhan berjalan efektif, meskipun strukturnya tidak utuh dan tidak penuh. Menjalankan fungsi dengan membangun jembatan pengasuhan kedua orang tua bagi santri, dan menjalankan fungsi pengasuhan santri dari guru dan pembina, akan menjadi penghubung terpenuhinya hak-hak pengasuhan anak yang tinggal di boarding. Pengasuhan yang secara periodik bisa berjalan dengan baik.
Melalui jembatan pengasuhan seperti ini, orang tua dan pesantren atau boarding sama sama perlu untuk memeperbaiki anak-anak yang sudah rusak akibat pengasuhan yang buruk.
Saya jadi teringat pidato Kiyai Sahal “jangan berpikir pesantren ini sebagai bengkel yang bisa memperbaiki anak-anak bapak/ibu, karena pesantren bukan bengkel, karena pesantren bukan tempat untuk memeprbaiki kerusakan-kerusakan aak yang sudah menganga“.
Masalah pesanten dalam penagsuhan
Solusi penagsuhan santri
Solusi keterampilan parenting orang tua