By : @psikolog_laluyulhaidir
(founder Pesantren Cahaya Bangsa_Lombok)
Beberapa istilah menghampiri anak anak gen Z saat ini, disebut sebagai generasi strobery, generasi rebahan, mudah kena mental, butuh healing, mahir dalam self diagnose, bertemu dengan strick parent, ego sentris, ngebarcode (self harm), dan beragam istilah yang sebenarnya tidak sehat disematkan pada mereka.
Ada yang setuju dengan sematan itu, namun ada juga yang tidak. Saya tidak ingin membahas lebih lanjut bagaimana istilah istilah mental isyu ini disematkan pada Gen Z, saya hanya mencoba sedikit mengulas beberapa point kaitannya dengan relevansi Pesantren dan Gen Z hari ini.
1. Bagaimana relevansi Pesantren dengan Gen Z
2. Bagaimana pola perilaku Gen Z disesuaikan dengan budaya Pesantren
3. Bagaimana Gen Z bisa beradaptasi dengan Pesantren masa kini dan bagaimana Pesantren bisa menyesuaikan diri dengan karakteristik individual Gen Z.
Masih relevankah Pesantren untuk gen Z?
Saya jawab iya, sangat relevan. Meski disisi tertentu Pesantren perlu beradaptasi dengan Gen Z (dalam bahasan point 3 di bawah).
Gen Z yang sedang memasuki usia remaja saat ini, membutuhkan interaksi dengan peer (teman sebaya), juga kelekatan dengan technology. Hubungan mereka dengan peer dan technology saling bertalian satu sama lain.
Eksistensi gen Z ditentukan juga dari dua hal tersebut. Mereka cenderung bahagia jika bisa berterima dalam interaksi teman sebaya, dan juga tidak bisa lepas lama lama dari fungsi technology dan ragam media sosialnya. Termasuk game, music, sport dan juga film.
Kecendrungan gen Z dengan beberapa karakteristik khasnya, dapat diback up oleh peran Pesantren yang berhasil memainkan fungsi penting dalam hal KONTROL dan MONITOR perilaku santri sehari hari.
Pesantren memiliki kekuatan ini : kontrol dan monitor, dan para gen Z sangat butuh dengan dua hal tersebut.
Remaja gen Z dengan segala risikonya merupakan individu dalam masa transisi (SMP-SMA), antara peran sebagai orang dewasa atau peran kekanak kanakannya yang tercermin dalam emosi yang masih labil, meski fungsi kognitif mencapai “kesempurnaan”.
Mereka tetap membutuhkan peran pendampingan orang dewasa secara konsisten. Mereka butuh mentor dan pengarah, agar bakat dan minat nya diberdayakan dengan cara yang tepat dan lebih terarah.
Untuk mencapai hal tersebut, Pesantren dapat memainkan peran baiknya. Membantu gen Z dengan monitor dan kontrol yang konsisten.
Sebagai catatan tambahan, para mentor dan coach santri gen Z perlu meningkatkan pemahaman dalam topik psikologi perkembangan santri gen Z, meliputi bakat minat, kekhasan kepribadian dan sikap serta motivasi belajar akademik dan non akademik. Selain itu, diperlukan juga pemahaman bagaimana menjalin komunikasi dialogis dua arah, kemampuan mendengar aktif dan mengapresiasi gen Z.
Kemampuan tersebut akan sangat berdampak terhadap eksistensi santri gen Z melanjutkan peran dan fungsi sebagai santri tangguh masa kini.