(founder Pesantren Cahaya Bangsa_Lombok)
Pada tulisan part 1 saya mengenai karakteristik gen Z, ditemukan beberapa potensi risiko yang dihadapi gen Z dan memicu stres atau kondisi yang kurang ideal pada gen Z.
Saya teringat ucapan seorang kawan yang mengatakan “generasi saat ini adalah generasi yang manja, baru berhadapan dengan sedikit kesulitan saja mereka sudah down, bagaimana mereka bisa menjadi generasi yang kuat?”.
Saya ingin memberikan tanggapan, bahwa tidak semua anak memiliki kekuatan yang sama pada zaman bertumbuh yang berbeda. Terlebih dengan kondisi gen Z yang saat ini bisa mengakses begitu banyak hal dalam satu waktu, cepat dan instant. Demikian juga dengan relasi sosial secara riil yang terbatas karena akses media sosial yang lebih leluasa, termasuk game diantaranya.
Paparan realitas sosial seperti itu, tentu tidak menguatkan fungsi gen Z secara utuh, karena mereka tidak banyak terlibat dalam relasi sosial, pengalaman problem solving dan coping yang juga terbatas, keterampilan bina relasi pertemanan yang juga masih perlu ditingkatkan.
Realitas tersebut tentu memposisikan gen Z tidak mudah untuk ” diuji ketangguhannya”, karena pada dasarnya beberapa diantara mereka masih “rapuh” dan sedang mencari identitas diri.
So, lihatlah kemampuan gen Z secara individual, mana di antara mereka yang bisa diuji dengan tantangan berat, dan mana diantara mereka yang perlu disapih dalam menghadapi ragam tekanan, khsusunya bagi gen Z berstatus santri.
Bersukurlah jika gen Z berhasil menghadapi tiap tantangan dan kesulitan di pondok, karena dengan kemampuan itu santri akan tumbuh menjadi gen Z yang tangguh, setelah berhasil melalui tantangan dan kesulitan.
Namun jika mereka belum menunjukkan kemampuan, cobalah untuk melihat sisi mereka yang lebih personal, hingga akhirnya Pesantren mampu menjembatani semua santri gen Z dengan segala keunikan individual nya.
Bersambung tulisan part 3
