Oleh : Dr. Lalu Yulhaidir, M.Psi, Psikolog
Follow : @psikolog_laluyulhaidir
Kesehatan mental merupakan isyu penting yang menjadi perhatian dunia saat ini. Topik kajian tentang mental menjadi perhatian banyak kalangan, mulai dari anak usia dini hingga pada periode usia lansia. Kondisi mental yang tergambar dari keadaan psikologis individu tercermin dalam wujud perilaku yang khas, cara berpikir yang khas, dan ungkapan ekspresi emosi yang juga khas, untuk selanjutnya melahirkan sikap, karakter, dan kepribadian yang juga akan menyesuaikan dengan kondisi mental yang dimiliki seseorang.
Individu yang berada dalam pengasuhan keluarga yang kokoh sejak dini, tentu mendapatkan kesempatan dan potensi mental yang positif, tangguh, dan teguh. Ketangguhan ini tercermin dalam pengasuhan keluarga yang kuat secara emosi, fleksibel dan adpatif dalam menghadapi tekanan, tersedia dukungan sosial dan jaringan, mampu memecahkan masalah dan mengambil keputusan secara tepat, serta memiliki pikiran yang positif dan mampu membangun harapan pada anggota keluarganya. Keluarga yang tercermin dalam pengasuhan tangguh seperti ini akan menghadirkan dan melahirkan individu yang tangguh secara mental dan memiliki daya tahan yang tinggi terhadap tekanan kehidupan.
Namun kondisi keluarga dalam pengasuhan yang tangguh tidak selalu mudah untuk diwujudkan, karena setiap keluarga memiliki tantangan dan kesulitan yang berbeda-beda, sehingga kesulitan tersebut kerapkali berujung pada perpisahan keluarga dan perpecahan serta pertentangan. Kondisi ini bisa juga muncul dalam definisi keluarga dengan status “broken home”. Individu yang menghadapi status “broken home” tentu memiliki beberapa risiko negatif yang dapat membentuk individu menjadi pribadi yang bermasalah secara mental, antara lain merasa insecure (tidak nyaman dan tidak tenang), merasa tertekan, tidak berharga, merasa diabaikan dan disakiti secara mental, hingga kepada kondisi depresif yang kerapkali berujung tindakan salah seperti bunuh diri dan atau menyakiti diri sendiri.
Namun, kondisi broken home tidak selalu berujung keburukan, karena individu yang memiliki ketahanan mental yang baik, dapat menghadapi kondisi sulit broken home dengan lebih baik, memiliki strategi koping dan manajemen menghadapi tekanan yang juga lebih baik, hingga menghasilkan pribadi tangguh, kuat, dan mampu melesat serta berprestasi dalam kondisi penuh tekanan kehidupan.
Kondisi broken home dalam kehidupan seseorang seringkali dikategorikan sebagai permasalahan tingkat berat yang menghadirkan risiko psikologis yang tinggi seperti diuraikan dalam ulasan di atas, namun individu yang memiliki ketahanan mental yang tercermin dalam kemampuan berpikir fleksibel, memiliki dukungan sosial yang kuat, memiliki pendidikan yang baik serta kemampuan manajemen stres dengan baik, diharapkan mampu menjadikan tekanan dalam kehidupan sebagai sesuatu yang justru membuat individu menjadi “naik kelas”, karena berhasil melampaui tekanan dan kesulitan hidup dan mampu berprestasi setelah menghadapi kesulitan.
Selain kondisi tersebut, anak-anak atau individu yang hidup dari keluarga dengan status broken home juga dapat bertahan kuat jika keluarga masih memiliki fungsi yang tetap dijaga. Meskipun keluarga dengan broken home mengalami kerusakan secara struktur akibat dari perpisahan, perceraian, pertikaian, atau pertengkaran, namun fungsi keluarga dapat terus berjalan. Jika fungsi keluarga tetap berjalan dengan baik, maka kondisi mental anggota keluarga di dalamnyapun akan menjadi terjaga dan bertumbuh dengan lebih baik pula. Untuk menjamin keberfungsian keluarga yang telah mengalami kondisi broken home dapat dilakukan dengan tetap menjalankan peran dan fungsi masing-masing anggota keluarga, misal ibu dapat tetap menjalankan peran sebagai ibu, ayah juga demikian, dapat menjalankan peran sebagai ayah bagi anak-anak mereka. Meskipun posisi tempat sudah berbeda, namun hal tersebut sebaiknya tidak menghalangi fungsi orang tua bagi anak, dan tidak juga menghalangi fungsi anak bagi kedua orang tua. Demikian juga fungsi keluarga besar tidak lantas menghilang setelah terjadinya perpisahan, artinya masing-masing anggota keluarga besar keduabelah pihak bisa tetap menjalin silaturrahim bersama.
Berjalannya fungsi keluarga dengan status broken home dapat diatur melalui kesepakatan antar anggota keluarga, yang tercermin dalam silaturrahim yang tidak putus,anak dan orang tua dapat bertemu kapan saja dibutuhkan dan diperlukan oleh keduabelah pihak. Antarpihak dapat saling mendukung untuk menjalankan fungsi masing-masing. Anak tetap dapat berbakti kepada kedua orang tuanya yang telah berpisah, pada saat yang bersamaan juga orang tua dapat menjalankan kewajiban pengasuhan bagi anak-anaknya meski dalam waktu dan tempat yang berbeda. Hal ini tentu tidak mudah dijalankan, namun dengan kesadaran dan komitmen terhadap mental yang kuat, diharapkan anggota keluarga dapat mencapai tujuan baik tersebut.
Untuk memastikan keberlangsungan keluarga tetap berfungsi dan menguatkan mental anggota di dalamnya, maka hendaknya keluarga memiliki kemampuan untuk saling memberikan apresiasi dan penghargaan satu sama lain, saling memberikan dukungan emosi, tetap berusaha menjalankan komunikasi secara aktif dan positif, memiliki komitmen yang sama untuk menjalankan fungsi keluarga secara baik meski telah mengalami kerusakan secara struktur. Antar anggota keluarga juga perlu memiliki agenda bersama, sehingga terlibat dalam kegiatan fisik dan psikologis yang mensejahterakan antar anggota keluarga, mampu menghadapi tekanan dan kesulitan secara proporsional, serta saling menguatkan antar anggota keluarga dengan nilai-nilai dan prinsip dasar syariat yang kuat, sehingga meskipun terjadi status “broken home” tidak menghalangi anggota keluarga untuk menjalani peran, hak dan kewajiban masing-masing secara maskimal.